Islam-Arab versus Islam-Indonesia
Tiga dekade yang lalu, Almaghfurlah Gus
Dur pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, "Kita ini sebetulnya
orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang
(kebetulan) beragama Islam?" Pertanyaan ini sepintas tidak problematik,
tetapi jika dibaca pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua
paradigma yang bertolak belakang dalam mengimplementasikan Islam di bumi
Nusantara ini.
Mencermati model pertanyaanya, tentu saja asumsi dasar
pertanyaan ini membedakan "keislaman" dan "keindonesiaan"
sebagai dua entitas yang independen, tak berhubungan satu sama lain:
originalitas Indonesia menurut Agus Sunyoto adalah kapitayan-bukan animisme dan
dinamisme-dengan ragam kebudayaan yang melikupinya. Sementara originalitas
Islam adalah Arab dengan ragam kebudayaan yang menyertainya.
...........................................................
Pertanyaan ini dilontarkan Gus Dur ketika sebagian orang Islam
di Indonesia marak menggunakan identitas ke-Arab-an untuk meneguhkan identitas
dirinya sebagai orang Islam. Dengan identitas itu, dalam benak mereka,
seolah-olah Islam itu Arab dan Arab itu Islam. Untuk menjadi Muslim, seseorang
harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari
cara berbicara yang ke-arab-arab-an, berjenggot dan berjambang lebat,
berpakaian jubah, abaya hitam-hitam bercadar, atau seperti pakaian orang
Afghanistan, hingga cara makan dan apa yang dimakan oleh orang Arab pun
dijadikan model keislaman.
Muslim yang berblangkon (peci
khas Jawa, Cirebon), bersarung, masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam
sebagian aktivitasnya, senang berziyarah kubur, memperingati tujuh hari, empat
puluh hari, seratus hari atau setahun (haul) dari kematian
leluhurnya dianggap tidak lebih-saleh dan tidak lebih-Islam ketimbang mereka
yang serba-Arab itu. Karena semua itu dianggap bukan Islam, tapi tahayyul, bid'ah,dan churafat(dulu dikenal TBC). Keislaman kelompok ini
disebut Islam sinkretis, yakni Islam campuran antara "Islam-murni"
dengan budaya lokal setempat.
Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana
dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di
padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga
kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan
mengikuti "Islam masa Rasulullah" dengan keseluruhan budaya dan
tradisi kearabannya.
Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah
arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu
bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata "Arab"
adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis,
maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil 'alamin, menebarkan cinta-kasih kepada
seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.
Selain itu, adalah imposible mempraktikkan
Islam-murni pada saat sekarang dan di tempat yang sama sekali berbeda dengan
budaya Arab. Kebudayaan Arab sendiri dan sejumlah tempat ibadah yang yang
disucikan umat Islam di Arab, seperti ka'bah, masjidil haram, tempat sa'i,
padang Arafah, Mina, Muzdalifah, dan lain-lain kini telah mengalami perubahan
secara signifikan ketimbang masa Rasulullah dulu karena perkembangan teknologi
dan kebutuhan manusia sekarang.
Inilah keresahan Gus Dur melalui pertanyaan kritisnya yang saya
kutip di atas.
Islam-serba Arab itulah paradigma "orang Islam yang
(kebetulan) hidup di Indonesia". Identitas dasarnya adalah Islam
(yang dalam pandangan mereka adalah Arabisme). Untuk menjadi Islam, Indonesia
dengan seluruh kebudayaannya harus di-arab-kan. Jika Indonesia tidak bisa
diarabkan, maka mereka membuat identitas keislaman sendiri secara eksklusif di
dalam sistem kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia disebutnya bid'ah (bukan bagian dari ajaran Islam) dan semuabid'ah adalah menyimpang dan sesat. Paradigma ini
tentu cenderung eksklusif dalam kebudayaan Indonesia, bahkan dalam banyak hal
terjadi konflik kebudayaan.
Kebalikan dari cara pandang di atas adalah paradigma "orang
Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam". Paradigma ini memandang Islam
bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal
kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan
yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Ajaran-ajaran dan nilai-nilai ini
dapat diterapkan di mana dan kapan saja. Selain ibadah, semuanya dapat
dilakukan sesuai dengan budaya setempat. Islam dalam paradigma ini sangat
mengapresiasi kebudayaan lokal, bahkan berpendapat bahwa al-'âdatu muhakkamah (adat/tradisi dapat
dijadikan hukum). Menjadi Muslim, tidak harus Arab. Dengan budaya lokal
sekalipun, seseorang bisa menjadi Muslim sejati.
Di Bayan Lombok Barat, misalnya, terdapat pergumulan yang
intensif antara Islam dengan kebudayaan setempat, yang tercermin dalam
komunitas Wetu Telu. Tanpa harus menjadi Arab dan tanpa meninggalkan
nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang universal itu, seseorang bisa
mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islam Wetu Telu adalah potret Islam lokal
yang bertahan dengan keaslian dan "kejujuran"nya.
Keberadaannya bukan tanpa hambatan dan ancaman. Cercaan dan
stigma "sesat", "menyimpang", "sinkretis",
"belum sempurna", dan sejenisnya biasa dilekatkan oleh kelompok Islam
lain yang merasa sempurna dan lebih benar, Islam Waktu Lima. Lagi-lagi, ini adalah pergulatan klaim
kebenaran yang biasa terjadi sepanjang sejarah antara kalangan tekstualis
dengan kontekstualis, konservatif dengan inovatif, arabis dengan kultural, dan
varian-varian Islam lain.
Dengan demikian, Islam memang universal. Dalam universalitasnya,
Islam dapat dipraktikkan dan diwujudkan dalam setiap kebudayaan di belahan
dunia. Universalitas Islam terletak kepada nilai-nilai dasar ketuhanan,
kenabian, kemanusiaan, keadilan, kerahmatan, kebaikan, dan kasih sayang,
beserta prinsip-prinsip dasar pengembangannya. Ekspresi Islam dalam kehidupan
nyata tentu bergantung pada lanskap sosiologis dan kultural di mana Islam
dipraktikkan. Indonesia-dengan segala karakteristik kebudayaan dan
keberislamannya--sesungguhnya telah dapat menjadi varian Islam sendiri di
dunia, yakni Islam-Indonesia, tanpa harus menjadi Arab, Timur Tengah, Barat,
atau Eropa.
Realitas yang lain
INDONESIA adalah negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia juga bisa
jadi negeri pemilik mesjid dan pendidikan Islam terbanyak di dunia-mulai dari
pendidikan anak usia dini, pesantren, hingga pendidikan tinggi. Setiap tahun,
Indonesia adalah penyumbang jama'ah haji dan umrah terbanyak di negeri
kelahiran Rasulullah SAW. Meski tidak secara terang-terangan menyebut diri
negara Islam, tetapi dalam setiap perhelatan negara-negara Islam di dunia,
suara Indonesia selalu diperhitungkan.
Dengan sejumlah catatan buruk kasus-kasus kekerasan atas nama
agama yang terjadi akhir-akhir ini, terutama menyangkut pembatasan hak,
pelarangan, pengusiran, pembakaran, hingga pembunuhan atas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI), aliran-aliran yang dituduh sesat, dan Gereja-gereja di
berbagai daerah, Indonesia masih dikenal sebagai negara yang mampu
menerapkan toleransi beragama dan kerukunan kehidupan umat beragama terbaik
dibanding dengan negara-negara muslim lainnya. Muslim Indonesia pun konon memiliki
karakter yang khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal
Nusantara. Meski Islam lahir di Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat
tumbuh kembang dan bahkan sangat berpengaruh di bumi Nusantara yang sebelumnya
diwarnai animisme dan dinamisme.
Indonesia pun secara sadar tidak menggunakan label Islam dalam
struktur dan sistem kenegaraannya. Meskipun dengan dasar Pancasila dan UUD
1945, tetapi aturan-aturan kenegaraan dan peraturan perundang-undangannya tidak
bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan
keadilan, kedamaian, dan kemaslahatan. Di dalam Istana Presiden Indonesia di
Jakarta terdapat Masjid Baiturrahim, di
sampingnya ada Masjid Istiqlal, masjid nasional yang dikelola oleh Pemerintah.
Begitu juga di hampir seluruh Kantor Gubernur dan Bupati se-Indonesia, di depan
atau di sampingnya selalu terdapat Masjid Agung yang dikelola oleh Pemerintah.
Itulah "Islam Indonesia", "Islam ala Indonesia" yang sering Gus Dur jelaskan.
Saya memilah dan membedakan terma "Islam Indonesia" dan "Islam
di Indonesia." Sekilas tidak terdapat perbedaan, tetapi secara
paradigmatik memiliki implikasi yang jauh. Yang digambarkan di atas adalah
"Islam Indonesia", Islam khas Indonesia, Islam berkarakter Indonesia,
dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tanpa bermaksud
menundukkan dan menggantikannya menjadi Islam versi Arab. "Islam
Indonesia" adalah Islam berbaju kebudayaan Indonesia, Islam bernalar
Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang ramah kebudayaan lokal,
dan sejenisnya. "Islam Indonesia" bukan foto copy Islam Arab, bukan
kloning Islam Timur Tengah, bukan flagiasi Islam Barat, dan bukan pula
duplikasi Islam Eropa. "Islam Indonesia" adalah semua Islam itu yang
tersaring ke dalam keindonesiaan.
Berbeda dengan itu, "Islam di Indonesia" memberikan
pengertian bahwa Indonesia hanya sebagai lokus persinggahan dari Islam.
Filosofi, logika, nalar, budaya, simbol, bahasa, dan tata cara pergaulan
semuanya diadopsi, difoto copy, dicangkok, diduplikasi, dan diflagiasi secara
sempurna dari Islam Arab. Asumsi paradigma "Islam di Indonesia"
adalah bahwa Islam itu Arab dengan seluruh darah daging kebudayaannya, sejak
kelahiran hingga perkembangan dewasa ini. Di Indonesia, Islam hanya numpang, singgah,
dan menjadi "orang lain" yang--apabila bisa akan--menguasai
Indonesia. Indonesia harus diislamkan, artinya diubah dan diganti dengan Islam
Arab atau pseudo-Arab: menjadi negara Islam,
secara simbolik menyebut Syari'at Islam, berbahasa Arab atau kearab-araban, pakaian
kearab-araban, dan sejenisnya. Islam model ini tidak ramah dengan kebudayaan
lokal, malah cenderung memusuhinya.
Pilar Islam Indonesia
Di balik "Islam Indonesia" atau "Islam di
Indonesia" terdapat pilar keislaman yang sangat kuat di Indonesia.
Tanpa pilar ini, Islam tidak akan berkembang di bumi Indonesia. Pilar-pilar itu
adalah organisasi-organisasi Islam yang sejak kelahirannya hingga sekarang
terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam di bumi Nusantara.
Organisasi-organisasi ini memiliki akar jama'ah yang sangat kuat di bawah, yang
secara sosiologis berbeda satu sama lain. Mereka juga memiliki rasion d'etre sendiri atas kehadirannya di
Indonesia, mempunyai aset keagamaan, memiliki infrastruktur sampai ke desa, dan
yang terpenting mereka menggunakan nalar yang berbeda satu sama lain dalam
memahami sumber ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadis.
Organisasi-organisasi Islam sejenis ini di Indonesia sangat
banyak. Di antaranya adalah Persyarikatan Muhamadiyyah, Al Irsyad, Persis,
Nahdlatul Ulama, al-Washliyyah, Perti, Darud Da'wah wal Irsyad, Nahdlatul
Wathan, Mathla'ul Anwar, dan lain-lain. Organisasi-organisasi Islam ini adalah
bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual "Islam Indonesia."
Inilah Islam Nusantara yang membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang
secara umum sangat toleran, dapat hidup rukun dengan agama-agama lain, menerima
dasar negara Pancasila, menghargai kebudayaan lokal dan kebhinekaan, dan
memiliki ikatan sosial yang sangat kuat.
Munculnya isu terorisme, "Islam garis keras",
"Islam ekstrim", dan "Islam fundamentalis", yang merongrong
dasar negara Pancasila, menggunakan kekerasan dalam menegakkan Syari'at Islam,
menyuarakan negara Islam dan khilafah Islamiyah secara simbolik, sesungguhnya
bukan produksi asli Islam-Indonesia. Itu adalah gerakan Islam
transnasional yang diimpor dari negara-negara Timur Tengah. Gejala ini
muncul sepuluh tahun terakhir saja, setelah rezim Orde Baru tumbang.
Gerakan Islam transnasional ini sesungguhnya tidak memperoleh
dukungan kuat dari mayoritas Muslim Indonesia. Hanya saja, karena suara mereka
nyaring dan keras, sehingga memperoleh perhatian media massa dan membuat
ketakutan sebagian pemerintah, politisi, dan aparat negara lainnya. Atas
ketakutan ini, seolah-olah mereka memperoleh dukungan politik.
Negara Pancasila
Gus Dur adalah tokoh Muslim terdepan yang menentang negara Islam
simbolik di Indonesia. Gus Dur memandang bahwa Pancasila adalah kompromi
politik yang memungkinkan semua orang Indonesia hidup bersama-sama dalam sebuah
negara kesatuan nasional Indonesia. Menurutnya, tanpa Pancasila, Indonesia akan
berhenti sebagai negara. Douglas E. Ramage mencatat bahwa penafsiran Gus Dur
dan rujukannya yang sering pada Pancasila erat kaitannya dengan peranannya
sebagai ulama-pesantren, yang memiliki komitmen kuat pada pluralisme dan
nilai-nilai inti demokrasi.
Telah lama ia berpendapat bahwa umat Islam harus berpegang pada
Pancasila. Ia memahami Pancasila sebagai syarat bagi demokratisasi dan
perkembangan Islam spiritual yang sehat dalam konteks nasional. Di matanya,
Indonesia adalah sebuah negara yang didasarkan pada konsensus dan kompromi dan
kompromi itu inheren dalam Pancasila. Dengan penuh keyakinan, Gus Dur
berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila, termasuk negara damai
(dar al-shulh) yang harus dipertahankan. Menurutnya, hal
ini adalah cara yang paling realistik secara politik jika dilihat dari
pluralitas agama di Indonesia.
Lebih jauh, bagi Gus Dur, hal ini sepenuhnya konsisten dengan
doktrin keagamaan Islam yang tidak memiliki perintah mutlak untuk mendirikan
negara Islam. Islam tandas Gus Dur tidak mengenal sistem pemerintahan yang
definitif dan baku. Dalam persoalan yang paling pokok, misalnya suksesi
kekuasaan, ternyata Islam tidak memiliki sistem yang baku; terkadang
memakai istikhlâf, bai'at danahl al-hall wa al-‘aqdi (sistem formatur).
Padahal, dalam pandangan Gus Dur, soal suksesi adalah soal yang cukup urgen
dalam masalah kenegaraan. "Kalau memang Islam punya sistem yang baku,
tentu tidak terjadi demikian," komentar Gus Dur.
Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan
kekuasaan dalam bentuk baku yang ditinggalkan Rasulullah, baik melalui ayat
al-Qur`an maupun al-Hadits, membuat perubahan historis atas bangunan negara
yang ada menjadi tidak terelakkan dan tercegah lagi. Dengan demikian, maka
kesepakatan akan bentuk negara tidak bisa lagi dilandaskan pada dalil naqli, melainkan pada kebutuhan masyarakat pada suatu
waktu.
Inilah yang menyebabkan mengapa hanya sedikit sekali Islam
berbicara tentang bentuk negara. Menurutnya, Islam memang sengaja tidak
mengatur konsep kenegaraan. Yang ada dalam Islam hanyalah komunitas agama (kuntum khaira ummatin ukhrijat li al-nâs), bukan khaira dawlatin, apalagi khaira mamlakatin, kilahnya.
Filsafat politik yang mendasari pemikiran Gus Dur adalah
bagaimana mengkombinasikan kesalehan Islam dengan apa yang disebutnya komitmen
kemanusiaan. Baginya, nilai itu bisa digunakan sebagai dasar bagi penyelesaian
tuntas persoalan utama kiprah politik umat, yakni posisi komunitas Islam pada
sebuah masyarakat modern dan pluralistik Indonesia. Humanitarianisme Islam pada
intinya menghargai sikap toleran dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap
kerukunan sosial. Dari kedua elemen asasi inilah sebuah modus keberadaan
politik komunitas Islam negeri ini harus diupayakan.
Cita negara yang secara konsisten diperjuangkan Gus Dur adalah
tatanan politik nasional yang dihasilkan oleh proklamasi kemerdekaan, di mana
semua warga negara memiliki derajat yang sama tanpa memandang asal-usul agama,
ras, etnis, bahasa dan jenis kelamin. Konsekuensinya, politik umat Islam di
Indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusifisme,
sektarianisme, dan primordialisme politik harus dijauhi. Termasuk di sini
adalah pemberlakukan ajaran agama melalui negara dan hukum formal, demikian
pula ide proporsionalitas dalam perwakilan di lembaga-lembaga negara. Sebab,
tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berwajah sektarian dan berlawanan dengan
asas kesetaraan bagi warga negara.
Yang penting bagi Gus Dur adalah memperjuangkan nilai-nilai
Islam, bukan universum formalistiknya. Dengan memperjuangkan nilai-nilai yang
ada dalam Islam, Gus Dur bisa mengatakan bahwa dia sedang memperjuangkan Islam.
Di mata Gus Dur, Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi,
landasan etik-moral, bukan sebagai simbol sosial dan politik belaka. Dengan
kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba
ditangkap spirit dan rohnya. Islam dalam maknanya yang legal formal tidak bisa
dijadikan sebagai ideologi alternatif bagi cetak biru negara bangsa Indonesia.
Islam merupakan faktor pelengkap di antara spektrum yang lebih luas dari
faktor-faktor lain dalam kehidupan bangsa.
Walhasil, visi Gus Dur tentang Indonesia masa depan adalah
negara-bangsa Indonesia yang demokratis, pluralis, toleran, dan humanis, yakni
negara yang menjamin kedudukan yang sama bagi seluruh warga negara dari
berbagai latar belakang agama, etnis, gender, aliran, bahasa, dan status
sosial. Seluruh warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada
diskriminasi dan kekerasan dalam kehidupan mereka.

0 komentar :
Posting Komentar